Aku pun akhirnya menjadi tak peduli. Tulis saja apa yang ingin kau tulis. Batin ku dalam hati. Tapi bagaimana memulainya. Bantahku sendiri. Hah… mengapa sebagian orang begitu mudah mencurahkan perasaan mereka menjadi untaian kata yang indah lagi bermakna. Begitu gampang merangkai kalimat menjadi sebuah paragraf yang enak di baca, hingga kumpulan paragraf itu akhirnya menjadi sebuah essai yang kritis. Menjadi sebuah cerita pendek yang menggugah. Bahkan menjadi sebuah novel yang mendebarkan.
Mengapa aku tak bisa menjadi seperti mereka. Apa karena memang tiada bakat dalam diri ini untuk menjadi seorang pujangga? Hahaha… tiba-tiba tertawa sendiri aku membaca baris kalimat terakhirku itu. Pujangga? Memang dibutuhkan bakat untuk bisa jadi pujangga. Tapi untuk menjadi penulis? Kau hanya membutuhkan latihan. Begitu kata seorang dosenku, dulu. Berlatihlah, tulis, tulis, dan tulis. Curahkan saja apa yang ada di kepala. Tak usah pedulikan apakah tulisan itu akan jadi indah atau hanya menjadi kumpulan kata tanpa makna. Tak usah pedulikan apakah tulisan itu sudah mengikuti EYD (ejaan yang disempurnakan) atau tidak. Tak usah pedulikan.
Maka beginilah hasilnya. Niat hati ingin membuat sebuah cerita, ternyata berakhir menjadi sebuah curahan hati. Hahahah… bahkan untuk membuat sebuah penutup untuk tulisan yang tak jelas ini, aku pun tak sanggup.
Bersambung…