
Sabtu, 3 November 2007, rencana “gila” berjalan kaki dari Depok ke Monas akhirnya terlaksana juga.. gila banget ya? Saya sendiri awalnya gak merasa yakin akan bisa lo.. Tapi ternyata saya masih tetap bertahan sampai akhir :D
Oke

begini kisahnya.. Pada awalnya, rencana perjalanannya sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan Monas, apalagi sampai harus berjalan kaki dari Depok sampai Monas. Rencana awal yang ditawarkan oleh kawan saya bernama Ospi hanyalah berupa rencana perjalanan biasa untuk bersenang-senang ke Ragunan (Yup, benar sekali kawan, Ragunan, tempat segala macam spesies, termasuk manusia, berkumpul jadi satu). Namun kemudian, datanglah seorang kawan beretnis Sunda (dan dia bangga sekali akan darah Sunda yang mengalir di tubuhnya). Kedatangan kawan Sunda ini (agar lebih mudahnya, untuk selanjutnya akan saya sebut Subhi), merubah rencana yang awalnya “normal” ini menjadi rencana yang “gila” sepenuhnya. Kawan Subhi menolak rencana yang biasa-biasa saja itu, dia menginginkan sebuah acara yang monumental, yang dapat kami kenang, yang akan menjadi sebuah mozaik yang akan terus diingat dalam ingatan kami saat kami mengingat masa-masa kuliah… Dia menawarkan sebuah rencana perjalanan yang dilakukan dengan berjalan kaki (terinspirasi dari kisahnya sendiri saat menyusuri pantai selatan). Entah bagaimana perdebatan selanjutnya sehingga Monas yang dipilih (Maaf ya, saya lupa pas bagian itu). Intinya, kami berlima (Saya, Ospi, Subhi, dan dua kawan saya yang lain, Arief dan Eko) menyetujui rencana “gila” tersebut. Diputuskanlah bahwa hari Sabtu, tanggal 3 November 2007, merupakan hari pelaksanaan rencana itu.
Jumat, 2 November 2007, karena ada keperluan di rumah, saya segera pulang setelah salat Jumat sehingga tidak sempat bertemu dengan kawan-kawan yang lain, serta tidak sempat pula menanyakan kejelasan apakah akan tetap terlaksana atau tidak rencana perjalanan itu. Sore harinya saya mengirimkan sms ke kawan Arief menanyakan kejelasan apakah esok jadi atau tidak acara jalan santainya. Sampai malam hari, sms tersebut tidak dibalas sehingga saya berasumsi bahwa rencana tersebut tidak jadi terlaksana. Saya pun tidur dengan nyenyaknya sehingga tidak tahu bahwa ada sms yang masuk ke Hp saya pada pukul 22.30. Pagi harinya saya baru melihat isi sms tersebut, yang ternyata berasal dari kawan Arief, isinya memberitahukan bahwa rencana tetap dilaksanakan dan menyuruh saya agar segera bergegas ke Depok. Saya pun segera pergi ke Depok pada pukul 09.00.
Seperti yang sudah saya duga, kawan Eko ternyata mengundurkan diri dari rencana perjalanan ini (mungkin dia satu-satunya yang masih waras yang menyadari bahwa rencana ini tidak ada manfaatnya sama sekali :) ). Sedangkan kawan saya yang lain, Edy, yang juga diajak untuk ikut serta dalam acara ini tidak bisa ikut (Beliau harus mengantarkan calon pendamping hidupnya di masa yang akan datang ke suatu tempat). Akhirnya hanya tinggal tersisa empat orang yang tetap membulatkan tekad untuk berjalan kaki dari Depok menuju Monas. Namun, sampai jam 12 siang, yang menurut rencana awal merupakan waktu keberangkatan, baru ada saya dan kawan Ospi. Barulah sekitar jam setengah satu siang datanglah kawan Arief. Sementara hujan mulai turun rintik-rintik membasahi bumi ini, kami berjalan menuju MUI (Masjid Ukhuwah Islamiyah) untuk menjemput kawan Subhi. Sesampainya di sana ternyata kawan Subhi belum ada. Kami sempat kebingungan
. Apakah ia, yang mencetuskan rencana “gila” ini malah tidak ikut? Beragam dugaan muncul di kepala saya. Apakah rencana ini akan tetap dilaksanakan walau sang pionir tidak ikut serta. Kondisi juga sedikit mengkhawatirkan karena hujan juga masih belum reda. Namun tiba-tiba Hp kawan Arief bergetar. Kawan Subhi mengabarkan bahwa dia masih berada di rumahnya di Kelapa Dua, dan akan segera datang sekitar 15 menit lagi. Kami pun memutuskan untuk menunggu kawan Subhi di halte stasiun UI.
Setelah menunggu agak lama. Kawan Subhi akhirnya muncul. Kami pun segera memulai perjalanan akbar ini. Tapi tunggu dulu. Sebagai penambah semangat, serta agar perjalanan ini mempunyai esensi dan bukan merupakan perjalanan biasa. Segera dibuatlah kesepakatan diantara kami berempat
, “Barang siapa, yang menyerah sebelum sampai di Monas harus menjawab 10 pertanyaan paling pribadi yang diajukan oleh mereka-mereka yang berhasil mencapai Monas”. Setelah kesepakatan disetujui secara aklamasi, kami segera memulai langkah pertama menuju Monas.
Waktu menunjukkan pukul 13.30, saat kami mencapai UI-Wood. Kami berhenti sebentar untuk mendokumentasikan awal perjalanan kami. Untuk pendokumentasian, awalnya kami ingin memakai kamera digital yang beresolusi tinggi. Namun apa daya, tidak ada diantara kami berempat yang mempunyai kamera digital. Sehingga pendokumentasian perjalanan menggunakan kamera yang terdapat di HP saya sehingga foto-foto yang dihasilkan di waktu malam kurang memuaskan
.
Kami terus berjalan melewati Universitas Pancasila (UP) menuju arah Pasar Minggu. Ditengah perjalanan tersebut, sesaat setelah melewati UP, terlihat oleh kami tembok bergambar unik yang menurut kami merupakan spot yang tepat untuk kembali berfoto. Setelah melewati Lenteng Agung kemudian Tanjung barat. Pada perempatan sebelum Pasar Minggu. Tepat di bawah jembatan layang. Tanpa mempedulikan tatapan aneh dari warga sekitar. Kami kembali berfoto ria
. Ah, hampir saja saya lupa. Sebelum mencapai jembatan layang tersebut, demi kenyamanan perjalanan, kawan Subhi memutuskan untuk mengganti perlengkapan dasar perjalanannya, sendal Jepit. Benar sekali kawan :f, perjalanan ini telah memakan korban bahkan sebelum perjalanan itu dimulai. Saat kami akan meninggalkan stasiun UI, sendal jepit yang dipakai oleh kawan Subhi mengalami kerusakan, yang walau dapat diperbaiki tetapi tetap mempengaruhi kenyamanan di kaki saat akan melangkah (begitulah alasan yang dilontarkan oleh kawan Subhi saat mengganti sendal Jepitnya). Dan ternyata bukan hanya sendal Jepit kawan Subhi saja yang menjadi korban dalam perjalanan ini. Sesaat setelah melewati Pasar minggu. Sendal Jepit yang dipakai oleh kawan Ospi pun mengalami kerusakan. Lebih parah daripada sendal Jepit kawan Subhi sehingga untuk sementara kawan Ospi harus memakai sendal Jepit kawan Subhi yang juga telah rusak sebelumnya. Sebenarnya, kawan Ospi dapat mengganti sendal Jepitnya saat itu juga. Namun, karena idealisme serta kecintaannya pada Alfa Mart. Ia menolak untuk membeli sendal Jepit baru selain di Alfa Mart.
Kami terus berjalan
ditemani oleh hujan yang turun rintik-rintik. Melewati Pasar Minggu, waktu sudah menunjukkan pukul 16.30. Kami pun beristirahat di sebuah Masjid yang terletak dekat Taman Makam Pahlawan Kalibata. Setelah salat Asar, perjalanan kembali dilanjutkan. Kami berbelok ke kiri pada belokan pertama setelah Taman Makam Pahlawan. Melewati Duren Tiga. Saat melewati Duren Tiga, sempat terlontar ide untuk berkunjung ke rumah seorang teman yang kebetulan rumahnya berada di Duren Tiga. Seorang teman (kebetulan berjenis kelamin perempuan
) yang pernah dan mungkin masih disukai oleh salah satu kawan saya, dan merupakan salah satu topik pembicaraan yang sering kami bicarakan saat kami berkumpul. Tapi itu semua hanya sampai pada tataran ide belaka. Kami terus berjalan melewati begitu saja belokan yang mengarah ke rumah teman saya tersebut. Monas adalah tujuan utama, begitulah tekad kami sejak awal perjalanan sehingga kesempatan untuk berkunjung ke rumah teman tersebut harus menunggu di lain waktu.
Kaki saya sudah mulai terasa lelah
. Namun melihat kawan-kawan yang lain masih diselimuti oleh semangat yang membara, saya pun serasa mendapat tambahan tenaga untuk terus melangkah. Tapi untunglah segera terlihat oleh kami sebuah Alfa Mart. Kawan Ospi dengan segera langsung berlari menuju Alfa Mart, meninggalkan kami di belakang. Saya, Subhi serta Arief menggunakan kesempatan itu untuk beristirahat. Lumayan untuk sekadar meluruskan kaki
. Dan betapa baiknya kawan saya yang bernama Ospi itu
. Ia tidak hanya memikirkan kebutuhannya sendiri akan sendal Jepit. Ia membelikan untuk kami sesuatu yang memang kami butuhkan saat itu. Sebungkus coklat untuk memulihkan tenaga serta permen kopi untuk menemani perjalanan kami. Ah, semoga Tuhan membalas kebaikan kawan saya itu :y.
Setelah mendapat sedikit tambahan energi
. Kami melanjutkan perjalanan kembali. Sampai di perempatan Mampang kami berbelok ke kanan melewati Mampang Prapatan menuju arah Rasuna Said. Hari sudah mulai gelap saat kami sampai di Mampang Prapatan, hujan pun tidak kunjung reda. Kaki sudah mulai terasa lelah. Pada titik inilah petualangan kami sudah sampai ke tahap selanjutnya. Dimana rintangan mulai bertambah. Selain hujan yang turun rintik-rintik, kami juga harus menembus gelapnya malam dan menantang dinginnya cuaca. Jalanan yang becek menyebabkan celana saya sudah sangat kotor. Mobil yang melewati kami terkadang tanpa mengenal perasaan menciprati kami dengan genangan air
. Ditambah dengan tanah bekas galian jalan yang terdapat di sepanjang Mampang Prapatan. Membuat perjalanan ini menjadi semakin sulit
.
Titik peristirahatan selanjutnya adalah flyover Kuningan. Sesampainya di sana kami segera istirahat. Tidak lupa kami kembali berfoto di bawah flyover Kuningan. Setelah puas foto-foto, perjalanan kami lanjutkan. Kawan Arief, tanpa unsur kesengajaan pastinya, telah meninggalkan sisa permen kopi di bawah flyover Kuningan. Saat akan menyusuri jalan HR Rasuna Said. Entah karena ide siapa. Kami memutuskan untuk menyeberang ke sisi jalan yang lain dengan menggunakan jembatan penyeberangan BusWay. Ah, tidak terperi rasa ngilu yang dirasakan oleh kaki saya
saat menapak satu demi satu tangga jembatan penyeberangan itu. Sesampainya di atas, kami menyempatkan diri untuk berfoto. Sejak dari jembatan penyeberangan sampai perjalanan ini usai, seksi dokumentasi diambil alih oleh kawan Arief. Jiwa fotografer kawan Arief ternyata terbangun oleh tanggung-jawab yang kami berikan sebagai seksi dokumentasi. Mulailah ia memfoto segala hal
, dari yang penting sampai yang tidak penting. Saya, Subhi, Ospi, serta dirinya sendiri menjadi lebih sering difoto sejak Hp saya dipegang olehnya. Marka jalan, mobil, bangunan, bahkan sampai papan iklan di jalan pun tidak luput menjadi objek bidikan kawan Arief.
Kami melewati beberapa kedutaan besar di sepanjang jalan HR Rasuna Said. Dimulai dari kedutaan Hungaria. Jiwa norak kami
membuat kami memutuskan untuk berfoto di depan kedutaan Hungaria. Kedutaan selanjutnya adalah kedutaan Swiss. Saat kami akan kembali berfoto. Datanglah seorang satpam yang mengusir kami. Kami tidak diperbolehkan berfoto di depan kedutaan. Sejak itulah kami tidak foto-foto lagi di depan kedutaan. Kedutaan besar Belanda, India, Singapura, Polandia, serta kedutaan-kedutaan negara lainnya kami lewati begitu saja. Sejujurnya saya merasa tersinggung
oleh sikap satpam tersebut. Sebagai sesama anak bangsa ia tega mengusir kami, padahal kami adalah warga negara Indonesia yang hanya ingin berfoto di depan kedutaan saja. Apakah hanya karena kami membawa ransel, kemudian ia curiga kami membawa bom? Ah sudahlah, buat apa membahas tentang satpam itu. Tidak penting
.
Kami terus melanjutkan perjalanan. Jalan HR Rasuna Said, yang seakan tidak ada habis-habisnya, terus kami susuri. Kaki saya sudah mencapai tahap yang sudah sangat kritis
. Setiap langkah menambah rasa ngilu. Saya mulai tertinggal di posisi paling belakang. Sempat terbersit niat untuk menyerah saja saat itu. Namun kawan Arief yang melihat saya sudah kehabisan stamina, terus menerus memberikan dorongan semangat. “Sudah setengah lebih,” itulah kata yang terus di ulang oleh kawan Arief kepada saya. Kata-kata tersebut membuat tenaga untuk berjalan yang sudah tidak ada lagi. Tiba-tiba muncul kembali. Pada akhirnya, saya pun dapat menyelesaikan perjalanan ini. Dan tentu saja untuk itu saya ucapkan terima kasih yang tulus kepada kawan Arief 
Jalan HR Rasuna Said akhirnya terlewati
. Kami sampai di jalan HOS Cokroaminoto, kami kemudian berbelok melewati Kendal menuju Thamrin. Hujan akhirnya berhenti. Satu rintangan sudah hilang, namun malam semakin pekat dan cuaca semakin dingin sedangkan Monas sama sekali belum terlihat. Kami berempat, dengan sisa-sisa tenaga yang tersisa, menyusuri Thamrin sampai akhirnya sampai di bundaran Hotel Indonesia (HI). Betapa senang saya saat mencapai bundaran HI. Karena dalam pikiran saya, jika HI sudah terlihat berarti Monas sudah dekat. Tidak peduli dengan apa yang dipikirkan oleh para pengendara mobil dan motor, serta pak polisi yang ada di bundaran HI. Kami pun segera foto-foto kembali di bundaran HI. Di bundaran HI inilah terjadi peristiwa yang nyaris merenggut nyawa kami. Saat kami hendak menyeberang. Saat itu lampu jalanan masih berwarna merah. Bukan maksud kami untuk berjalan perlahan-lahan. Tetapi memang tenaga yang tersisa sudah tidak sanggup untuk membuat kami berjalan lebih cepat lagi. Kami baru saja sampai di tengah sewaktu lampu tiba-tiba berwarna hijau. Tiba-tiba suara deru mobil dan motor menjadi lebih jelas daripada sebelumnya. Tanpa mempedulikan kami yang masih menyeberang. Motor dan mobil mulai tampak bergerak ke arah kami. Kami yang melihat hal tersebut segera menyadari bahwa nyawa kami terancam. Entah tenaga dari mana yang datang. Kami berempat segera berlari dengan sekuat tenaga. Rasa ngilu dan sakit pada kaki sesaat terlupa. Kami pun akhirnya selamat sampai di seberang. Kawan, hal tersebut membuktikan apabila nyawa yang menjadi taruhannya, segala potensi yang terpendam di dalam diri menjadi terlihat. Namun sangat disayangkan. Setelah nyawa kami sudah berada di tempat yang aman. Potensi itupun ikut menghilang. Kaki kami mulai merasakan sakit kembali saat akan melangkah. Malah lebih parah daripada sebelumnya. Tapi kami tahu bahwa Monas sudah semakin dekat. Hal itu cukup untuk memberikan sedikit tambahan tenaga untuk kami semua.
Pukul 20.00, sudah 6,5 jam kami berjalan. Akhirnya tugu Monas mulai terlihat. Ah, tidak bisa digambarkan rasa senang yang saya rasakan saat itu. Kami berfoto dulu sebelum memasuki Monas. Secara perlahan tapi pasti, kami melangkah melewati gerbang Monas. Banyaknya pasangan yang menghabiskan malam minggu mereka di Monas tidak kami perhatikan. Mereka bukan apa-apa dibandingkan kami pada malam itu. Kebahagiaan yang mereka rasakan saat bergandengan tangan dengan pasangan mereka masing-masing, tidak lebih besar daripada kebahagiaan yang kami rasakan saat itu. Setelah berbagai macam rintangan kami lalui dalam perjalanan menuju Monas. Kehujanan, kedinginan, kelelahan yang teramat sangat, diusir satpam, hampir ditabrak mobil. Hanya tugu Monas yang menjadi perhatian kami.
Sesampainya di dalam komplek Monas. Kami segera duduk. Beristirahat. Menatap tugu Monas yang terus-menerus berganti warna. Dari ungu lalu merah. Kemudian menjadi biru. Kembali ke warna putih. Lalu berubah warna menjadi hijau. Kami melihat indahnya Monas sembari menikmati detik-detik kemenangan. Dimana hal yang sebelumnya saya anggap mustahil ternyata bisa terjadi. Perjalanan ini telah mencapai tujuannya. Kami telah sampai Monas kawan. Sampai saat saya menulis catatan ini, saya masih tidak percaya bahwa saya telah berhasil berjalan kaki dari Depok sampai Monas. Setelah puas menatap Monas, kami pun beranjak untuk pulang. Ah kawan, sudah sering saya datang dan melihat Monas. Baik itu saat pagi hari maupun saat malam hari. Namun tidak ada yang seindah malam itu. Malam itu Monas benar-benar terlihat begitu indah .

Tidak ada komentar:
Posting Komentar