04 Maret 2009

PAHITNYA CINTA: MENOLAK MASA LALU, DICAMPAKKAN MASA KINI

Kau tlah hancurkan semangat hidupku, menusuk hatiku, mengingat dirimu…

Tiba-tiba Hp ku bergetar. Mengeluarkan nada dering khas yang sengaja kupilih untuk Shanti. Seseorang yang pernah menghiasi hati ini dengan rasa cinta. Namun kemudian mencampakkannya. Pergi. Lalu kemudian kembali. Mencoba menebar kembali benih cinta dalam hati ini. Sejenak aku menunggu. Sudah beberapa hari ini Hp ku selalu berbunyi mengeluarkan nada yang sama. Hanya sebentar. Lalu kemudian mati. Hanya sekadar miscall. Mungkin hanya iseng belaka. Atau mungkin ia benar-benar rindu. Entahlah. Aku juga tidak tahu pasti.

Namun kali ini tampaknya sedikit berbeda. Nada dering itu terus berlanjut. …apakah aku bersalah kepadamu. Hingga akhirnya kau pergi tinggalkanku….

“Halo,” ucapku sedikit malas. Tahu bahwa kemudian jawaban yang terdengar hanyalah bunyi tuut.. tuut.. panjang.

“Hai,” terdengar suara renyah membalas sapaku.

“Hai juga,” jawabku spontan, “tumben. Ada apa? Biasanya cuman miskol doang,” kataku.

“Aku cuman pengen nanya satu pertanyaan, kalo aku minta jadian lagi ma kamu, kamu jawab apa?” tanyanya langsung.

“Haah… Apa? Coba diulang Shan?” aku balik bertanya.

“Kalo aku minta jadian ma kamu, jawaban kamu apa?” tanyanya kembali.

“Kamu serius?” sekali lagi aku mencoba untuk memastikan.

“He.. eh,” jawabnya singkat.

“Emm.. bisa kasih aku waktu untuk berpikir?” tanyaku.

“Oke, satu hari. Besok Sabtu aku dah harus dapet jawaban dari kamu. Gak lebih, boleh kurang. Kutunggu ya,” jawab dia.

“Oke, tapi…,” suaraku terputus oleh bunyi tuut panjang.

Aku sejenak terdiam. Kemudian melanjutkan membaca komik. Suasana di Gramedia Pasar Baru. Tempat favoritku dimana aku bisa membaca komik tanpa membelinya. Masih ramai. Orang-orang lalu-lalang. Para karyawan Gramedia. Yang hari ini berdandan khusus. Memakai topi lancip. Berbaju hitam. Beberapa ada yang pipinya dilukis menyerupai sambaran petir. Bahkan ada yang kesana kemari membawa sapu ijuk. Entah untuk menyapu atau hanya untuk pajangan belaka. Promosi Harry Potter yang sudah kelewatan pikirku. Aku mencoba untuk tidak mengacuhkannya. Asal masih bisa membaca komik gratis. Para karyawan itu mau memakai baju Batman atau Superman juga tidak masalah.

Biasanya aku tahan berdiri dua sampai tiga jam hanya untuk membaca komik. Namun entah kenapa, setelah menerima telepon dari Shanti. Aku tiba-tiba merasa jenuh dan memutuskan untuk segera pulang.


***

Sudah lama aku tidak datang ke pantai Anyer. Mungkin sudah satu tahun. Masih kuingat jelas setiap kenangan yang tercipta disini. Kenangan yang indah. Namun menjadi pahit saat kukenang kembali. Pantai ini tidak berubah sejak terakhir kali aku ke sini. Sejuknya hembusan angin laut. Bunyi deburan ombak yang samar terdengar. Langit yang memerah saat sore menjelang. Kemudian jingga. Lalu menghitam ketika Matahari sudah terbenam.

Aku masih ingat saat kami berjalan menyusuri pantai. Tawanya yang renyah. Senyumnya yang menggoda. Dan segala sikapnya yang kadang membuatku tertawa. Saat kami duduk memandang laut. Membiarkan hembusan angin menerpa. Saat kupandang wajahnya. Saat itu aku merasa. Hidupku sempurna.

Kemudian tiba-tiba. Tanpa alasan. Ia menghancurkan segalanya. Membangunkanku dari mimpi indah. Terhempas kembali ke dunia nyata. Hidup ini memang aneh. Saat aku merasa memiliki sesuatu. Saat itu juga, sesuatu itu terampas. Saat aku pun mulai melupakannya. Terganti dengan yang lain. Tiba-tiba ia datang kembali. Menawarkan hal sama seperti yang pernah ia berikan dulu. Sesuatu yang kini sudah kudapat kembali.

Sebulan yang lalu. Tepat ketika aku berulang-tahun. Ia meneleponku. Sekadar mengucapkan selamat. Lalu menanyakan kabar. Tidak terasa, kami pun berbalas SMS. Aku tak pernah bisa membencinya. Karena itu pulalah aku tak keberatan saat ia kembali. Tidak ada rasa dendam. Karena rasa itu sudah lama hilang. Aku perlahan bangkit dan mencoba menghapus luka. Dan baru kusadari, ternyata masih ada sedikit rasa yang tertinggal. Ketika ia pun kemudian menawarkan untuk menjalani hari bersama. Sebagai sepasang kekasih. Aku tidak bisa menjawabnya.

Ia masih sama. Sifat. Wajah. Suara. Tatapan matanya. Masih sama seperti yang kuingat. Rambut yang lurus sebahu. Cara berpakaian yang sederhana. Dan segala yang kuingat tentang dirinya. Persis sama dengan yang kulihat pada dirinya saat ini. Hanya terlihat lebih dewasa.

Jika saja ia datang lebih cepat. Jika saja aku masih sendiri. Mungkin dengan rasa bahagia kuterima ajakan tersebut. Tapi kini sudah ada seseorang yang telah menggantikannya. Mengisi hari-hari ku dengan canda dan tawa. Membuatku kembali merasa... hidupku sempurna.

Masalahnya sekarang adalah... apa jawabanku atas keinginannya tersebut. Ia kembali, tidak ingin hanya menjadi teman. Sifatnya masih saja egois. Dan hari ini aku harus memberinya jawaban. Iya atau tidak. Maka ke pantai inilah kemudian aku merenung. Di pantai ini telah tercipta kenangan atas dirinya. Yang kuharap bisa membantu dalam memutuskan.

Dua jam merenung. Tidak ada hasil yang kudapat. Rasa bimbang masih ada. Antara ingin memilihnya. Namun tidak ingin menyakiti yang lain. Akan lebih mudah jika aku membencinya. Mendendam karena telah dicampakkannya. Merasa terluka saat dikhianati. Dan menganggap ia telah hilang selamanya. Namun aku tidak bisa. Entah mengapa aku tidak pernah bisa untuk membencinya. Walau telah kudapat pengganti dirinya. Kuakui masih ada ia di hatiku. Ternyata aku masih mencintainya.

Makin kupikirkan. Hanya membuatku pusing saja. Bagaimanapun aku harus memilih. Kuambil Hp. Dengan perlahan kutekan tombol-tombol huruf yang ada. Menulis pesan untuknya.

Jika sebuah kaca telah pecah, tidak mungkin kaca itu dapat kembali seperti semula. Begitu juga rasa cintaku padamu. Kuharap kita dapat hanya menjadi teman. Karena kini tlah kudapat pengganti dirimu.

Akhirnya itulah keputusanku. Bukankah cinta tidak harus memiliki. Biarlah masa lalu hanya menjadi masa lalu.


***

Kring...! terdengar suara Hp. Masih jam lima pagi. Siapa yang menelpon sepagi ini?

“Desi,” kubaca nama yang terpampang di layar Hp.

“Halo... Assalamualaikum,” kataku.

“Maaf Mas pagi-pagi sudah nelpon,” terdengar suara Desi.

“Gak pa pa dek, da apa?” tanyaku.

“Mas bisa dateng ke rumah gak? Ada yang mau aku bicarain,” jawab Desi.

“Bisa sih, tapi emangnya ada apa? Semalem mimpi buruk ya?” tanyaku lagi.

“Ya, gitu deh. Udah ah gak usah diomongin.” jawab Desi.

“Ya udah... nanti aku maen deh ke rumah. Ntar ceritain mimpinya ya,” kataku mengakhiri pembicaraan.

Malas rasanya untuk bangun dari tempat tidur. Dengan gontai aku pergi ke kamar mandi. Berwudu. Lalu salat Subuh. Setelah itu aku pun kembali tidur.
Jam delapan pagi aku terbangun. Sarapan. Menonton Doraemon. Lalu duduk di teras rumah. Membaca surat kabar. Memperhatikan Ibu-ibu pergi ke pasar. Tetangga depan rumah yang mencuci mobil. Orang-orang yang berolah-raga pagi. Kegiatan rutin yang dilakukan setiap pagi di hari Minggu.

Lalu aku teringat tentang telepon yang kuterima subuh tadi. Memangnya mimpi apa Desi semalam. Ia memang sering bermimpi tentang apa saja. Herannya, ia sering percaya bahwa isi mimpinya itu akan menjadi nyata. Terlebih jika mimpi buruk. Sebenarnya hari ini aku tidak ingin pergi kemana-mana. Keputusanku untuk lebih memilih Desi daripada Shanti masih menyisakan keraguan di hati.

Kira-kira sudah enam bulan aku jadian dengan Desi. Ia seorang yang manis, cantik, dan baik hati. Intinya... aku bersyukur bisa menjadi pacarnya. Dan jika mengingat saat-saat jomblo dulu. Aku tidak mau mengulang masa-masa itu. Memang ada enaknya. Tapi terlalu banyak tidak enaknya. Saat itu aku pernah merasa tidak mempunyai tujuan hidup. Tidak ada seseorang yang memperhatikanku. Orang yang menemani saat senang. Yang menghibur saat bersedih. Dan memahami aku apa adanya.
Terkadang... aku masih tidak percaya Desi bersedia menjadi pacarku. Sewaktu aku menanyakan apakah ia mau pacaran denganku. Aku sudah siap untuk ditolak. Namun, ternyata aku diterimanya. Ternyata Tuhan mendengar doaku, pikirku saat itu.
Kulirik jam, sudah jam sepuluh. Aku mandi. Lalu bersiap ke rumah Desi.

“Mak, Jo pergi dulu ya. Pengen maen ke rumah temen,” kataku.

“Ati-ati ya,” kata Ibu.

“Iya, Assalamualaikum,” pamitku.

“Waalaikum salam,” kata Ibu.

Untung motor sedang tidak ada yang memakai. Lebih praktis dan cepat. Sepuluh menit sampai ke rumahnya.

“Assalamualaikum...! Desinya ada Bu’? tanyaku.

“Waalaikum salam. Eh Nak Jo. Ayo masuk. Desinya lagi keluar sebentar. Tunggu aja,” jawab Ibunya Desi.

“Iya Bu’,” kataku.

Aku masuk dan duduk di sofa. Kipas angin menyala di atasku. Nyaman. Sambil menunggu. Kupandangi lukisan Ka’bah yang terpasang di tembok sebelah kiri. Lukisan tersebut selalu dapat membuatku terkesima.

“Sudah lama Mas?” tiba-tiba suara Desi membuyarkan lamunanku.

“Baru lima menit kok,” kataku.

“Maaf ya Mas tadi pagi udah menggangu,” kata Desi.

“Gak pa pa, emangnya semalam mimpi apa sih?” tanyaku.

“Aku malas ah nyeritainnya. Pokoknya buruk deh mimpinya,” jawabnya.

“Ya udah, ga papa kalo gak mau cerita. Trus yang mau kamu omongin apa?” tanyaku lagi.

“O... itu Mas... O iya Mas mau minum apa? Teh atau...?” Ides malah balik bertanya.

“Air putih aja,” jawabku.

“Tunggu bentar ya Mas,” Desi kemudian masuk ke dalam rumah.

Tidak lama, ia datang kembali membawa segelas air putih. “Gimana kabarnya Mas?” tanyanya.

“Kabarku biasa aja,” jawabku.

Desi lalu duduk di sebelahku. Tingkahnya sedikit aneh. “Ada apa sih de’?” tanyaku.

“Mas..., kayaknya kita enakkan jadi sahabat aja deh,” jawabnya.

Deg... tiba-tiba terasa sesuatu menghujam. Aku sama sekali tidak percaya terhadap apa yang baru saja kudengar.

“Apa de’?” tanyaku. Berharap kesalahan ada di telingaku.

“Aku merasa kalo kita tuh lebih cocok seperti dulu,” jawab Ides.

“Maksudmu kita putus?” tanyaku.

Ia hanya menganguk.

Dengan suara yang kucoba normal. Aku bertanya, “Memangnya Aku punya salah apa? Atau ini karena mimpimu semalam?”

“Aku memang mimpi buruk semalam, tapi bukan itu sebabnya. Selama beberapa hari ini Aku terus berpikir. Dan kupikir ini yang terbaik buat kita. Mas gak punya salah,” jawabnya.

Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Apa yang mesti kukatakan jika seorang wanita meminta berpisah? Sebesar apapun rasa cintaku padanya. Sebagai lelaki... tidak mungkin aku memohon-mohon. Meminta agar ia tidak meninggalkanku. Mencampakkanku. Tidak... harga diriku tidak mengizinkanku melakukan itu. Aku hanya diam. Berharap semua ini mimpi. Berharap tiba-tiba Desi tertawa. Menertawakan mukaku yang tiba-tiba pucat. Mengatakan bahwa ini semua hanya sebuah lelucon.

Setelah lama kami terdiam. Aku memutuskan untuk menerimanya.

“Ya sudah kalau itu keputusanmu, Aku pamit ya. Masih harus mencari kado buat temenku,” kataku.

Ia mengantarku sampai depan rumah. Kupandangi ia sejenak. Lalu aku pun pergi. Aku tidak ingin air mataku menetes di depannya. Mimpiku ternyata sudah berakhir. Aku sendiri lagi.


***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar